Untuk Charlie

Charlie, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Tidak, aku tidak akan mengolokmu. Aku hanya ingin berterima kasih. Sungguh.

Kau tahu, saat kau berbicara tentang teman-temanmu di pabrik roti, mendadak aku mengerut karena malu. Kau bilang, mereka menyukaimu karena mereka tertawa bersamamu–tertawa karena melihatmu mengompol dan muntah saat dicekoki dengan bir.

Kau ikut tertawa saat itu, bahagia memiliki teman-teman yang menyukaimu. Walau samar-samar kau bertanya, mengapa mereka menyuruhmu berjongkok di sudut jalan dan berhitung sampai sepuluh, lalu mereka semua hilang saat kau membuka mata, hanya meninggalkan sayup gelak tawa di kejauhan. Tanpamu.

Charlie, tahukah kau betapa aku malu melihat keberanianmu? Esok harinya kau temui mereka dengan wajah berseri, bertanya dengan lugu mengapa mereka meninggalkanmu malam itu. Dan mereka terpingkal hingga terbungkuk-bungkuk. Kau mendengar Joe berkata pada Frank, betapa mereka telah berhasil mempermainkanmu semalam. Kau tak tahu apa artinya itu, tapi mereka tertawa, dan kau pun ikut tertawa. Mereka menyukaimu, pikirmu bahagia.

Lalu, seorang pegawai lain datang di suatu pagi, menyeringai dan berseloroh bahwa kau sangat cerdas, ia memintamu mengatakan hal-hal cerdas untuknya. Kau hanya menunduk sambil menggeser-geser karung tepung, hingga ia tak sabar dan mencengkeram kerahmu. Memintamu untuk menatapnya saat ia bicara.

Kau gemetar bagai daun, perutmu terasa bergejolak, takut dan cemas, lalu kau tak dapat menahannya lagi: tinja mengotori celanamu. Baunya tercium bersama serbuk-serbuk tepung, kau merasa jijik pada diri sendiri dan mulai menangis.

Namun, bahkan setelah semua itu, kau tetap kembali ke pabrik roti. Kau mengepel lantai dengan bersih, mengangkuti karung tepung, dan menuruti apa pun yang diperintahkan orang kepadamu, termasuk berdansa di atas meja mengenakan tutup lampu di kepala–walau sesungguhnya kau tak bisa berdansa. Kau hanya ingin mereka menyukaimu, karena mereka temanmu.

Bahkan, saat Pak Donner memutuskan untuk memecat pegawai yang mengasarimu, kau menangis untuknya, kau bilang dengan terbata bahwa Klaus–pegawai itu–punya seorang istri dan anak. Kau bilang bahwa bila ia menyesali perbuatannya maka ia harus mendapat kesempatan kedua. Semua orang yang mendengarmu bicara saat itu menjadi bungkam.

Charlie, kau menerima semua perlakuan buruk itu. Tanpa gerutu.

Sedang aku, kusimpan dendam rapat-rapat untuk kuledakkan suatu saat. Aku sedang merencanakan pembalasan ketika kisahmu sampai padaku…. Dan aku merasa malu.

Aku pernah menjadi sepertimu, Charlie. Tidak persis sama, memang. Kau mengalaminya sejak lahir, tanpa bisa memilih. Sedang aku, aku lahir sempurna, dibanggakan orang tua, hingga puluhan pil yang kutelan karena sebuah kesalahan membuat secomot bagian otakku gosong. Aku berubah dungu. Tak bisa mengeja, tersasar hanya sekadar untuk pulang ke rumah sendiri, menjadi gagap dan dicibir teman-teman. Aku menyerah dan mundur, Charlie. Aku berhenti. Aku mengasingkan diri. Padahal aku masih punya harapan untuk sembuh lagi. Tidak seperti kau…

Maka, Charlie, kau tahu, bila mereka bilang tempurung kepalamu kosong, akan kubilang dengan lantang pada mereka bahwa kekosongan itu membuat hatimu lebih jernih, lebih manusia dibanding mereka yang mengaku menyimpan segala dalam otaknya.

Charlie, aku kini telah sembuh, tapi aku tahu kau mungkin akan tetap di sana, bekerja di pabrik roti pada pagi hari, lalu sore harinya berangkat ke kelas Nona Kinnian untuk belajar membaca dan menulis di usiamu yang ketiga puluh tiga.

Aku akan mengingat pesan terakhirmu padaku, kutulis tepat seperti kau menuliskannya dengan beberapa kesalahan ejaan yang bisa diabaikan–kau hebat, Charlie.

“…jangan jadi cepat marah ketika oragn menretawaknya dan iakan punya lebih banyak tman. Mudah mendapatkan teman jika kau membiarkan oragn menretawakan dirimu. Aku akan mempunyai banyak tmans ke mana pun aku pergi.”

Terima kasih, Charlie. Aku akan berdoa untukmu dan Algernon–tikus kesayanganmu.

***

*tokoh Charlie sepenuhnya diangkat dari buku Flower for Algernon, seorang laki-laki pengidap fenilketonuria yang mengalami keterbelakangan mental.

14 comments

  1. […] Kau gemetar bagai daun, perutmu terasa bergejolak, takut dan cemas, lalu kau tak dapat menahannya lagi: tinja mengotori celanamu. Baunya tercium bersama serbuk-serbuk tepung, kau merasa jijik pada diri sendiri dan mulai menangis. (Untuk Charlie, cerpen karya Siska Nurohmah, alumnus KF11, bisa dibaca di sini.) […]

    Suka

Tinggalkan komentar