Day #2 Writing Challenge: Something someone told me that I never forget

Kalau dipaksa mengingat-ingat, saya malah susah ingetnya. Dari kemarin seharian berusaha mengingat apa yang dikatakan orang tentang saya tapi kayaknya nggak ada yang penting2 amat. Wkwkwk. Karena kelamaan mikir itulah saya jadi telat nulis post-nya. #halasan

Ada beberapa hal yang saya ingat, tp itu baru dikatakan kemarin2 ini. Berarti nggak masuk kategori ‘never forget’ kan, ya? Bisa jadi besok atau nanti siang saya sudah nggak ingat lagi.

Jadinya saya mencoba mengingat hal-hal dari masa kecil. Ada sih yang saya ingat, kata ibu saya, waktu kecil saya suka banget mainan kodok. Yes, kodok. Bukan katak. Kodok yang kulitnya brindil-brindil. Dari genus Bufo sp. Kata Ibu, kalau saya ikut beliau pengajian ke mesjid, saya sibuk sendiri nangkepin kodok di kolam mesjid. Kalau sudah dapat nanti dimasukin plastik dan dibawa ke rumah. Dipakai main dan dipegang-pegang.

Serius, saya nggak ingat pernah melakukan itu, katanya itu kejadian saat saya berumur 2-3 tahun. Tapi, ini termasuk kategori “what people tell about you” kan, dan saya juga nggak pernah lupa cerita Ibu yang satu ini. Tapi lagi, maknanya apa coba?

Entahlah, mungkin itu sebuah bukti kalau saya ini penyayang binatang? 🤔

Atau mungkin itu sebuah bukti bahwa semakin dewasa manusia, semakin mereka memandang sesuatu dari luarnya saja? Hm, hm. Soalnya kalau saya yang sekarang disuruh pegang kodok sih agak…emm…males juga. Pakai sarung tangan boleh lah, ya. Lagian buat apa juga saya tangkap kodoknya. Bukankah membiarkannya di alam habitatnya dengan tenang adalah bukti saya menyayanginya juga? #heh

Jadi begitu, mungkin, makna dari kejadian itu adalah, saat kita masih kecil menyayangi berarti memiliki. Semakin dewasa, semakin bisa menyayangi walau cuma menatap dari jauh saja. *enggak, ini nggak nyambung banget, serius.

Mungkin saya perlu memilih hal lain buat diingat. Hm. Ada juga sih yang lain, masih kata ibu saya juga. Kata beliau, dulu sampai umur empat tahun saya nggak pernah makan nasi. Saya cuma makan kacang panjang, daun katuk, buncis, bengkuang, dan sayur-mayur lain hasil tanam bapak saya. Apakah mungkin saya pelopor vegetarian? 🤔 Tapi di umur empat tahun saya suka ikan wader goreng kering sih.

Jujur saya nggak bisa mengingat yang agak keren dan penting yang sampai2 saya nggak bisa lupa. Saya jadi bertanya-tanya, apakah saya ini terlalu berpuas diri, sehingga merasa tak perlu mendengar orang lain? 😦 Ataukah memang nggak ada orang yang cukup care untuk mengatakan hal-hal yang menonjok saya? 😥

Eh, ada sih kayaknya, saya sering tertonjok dengan pernyataan orang. Tapi biasanya sih habis itu saya lupa. #bzzt

Dan saya baru ingat, hal yang masih membekas mungkin adalah kata-kata seorang teman yang cukup dekat dengan saya selama…kurang lebih tujuh tahun. Saat itu, saya sedang ‘di gua’, unreachable, dengan niat untuk membereskan hidup dulu, dan mungkin juga agar tidak terlalu membebaninya.

Saya lupa persisnya bagaimana, ingatan saya agak berkabut di masa itu. Yang jelas, ketika saya merasa siap untuk kembali berinteraksi, lalu memberitahunya bahwa saya punya masalah yang ‘numpuk dan belibet ruwet sampai susah diceritain, tapi sekarang mulai menemukan titik terang’, dia menganggap saya sangat tega karena setelah sekian lama, saya tidak pernah sedikit pun memberitahunya.

Saya mengira ia akan mengerti, bahwa saya hanya tidak ingin membebani. Tapi kata-katanya saat itu hanyalah, “Jadi selama ini kamu tidak pernah percaya saya.”

Lalu the end. Eh. Maksudnya, setelah itu kami tidak pernah dekat lagi. Padahal teman saya itu adalah orang yang super baik. Baik sekali. Dia tak pernah segan membantu teman2nya yang kesulitan, baik secara materi maupun sekadar menghibur dengan lawakannya yang garing.

Begitulah, dengan demikian saya belajar, bahwa tidak mengapa membagi kesedihan dengan orang lain yang kita percaya. Ya mungkin bisa dianggap membuka ladang amal bagi orang lain, gitu. Siapa tahu mereka bersedia membantu dan dapat pahala. #heh

Atau bisa jadi juga hanya untuk meringankan hati, karena tentulah yang paling bertanggung jawab menyelesaikan adalah kita sendiri. Bagaimanapun, saya masih fans setia quotes dari Ibn Taymiyyah berikut ini: “don’t depend too much in others, for even your shadow leaves you in darkness.” *ini penting utk dicantumkan, biar kesannya nggak curcol doang*

Oh, iya, ada satu lagi. *kok jadi banyak ya* Saya mendadak ingat satu hal yang dikatakan kakak kelas saya zaman SMP. Waktu itu saya baru masuk, masih MOS, pindahan dari desa pula. Kami latihan paduan suara buat upacara. Lalu si kakak kelas menyeret saya keluar barisan dan bilang, “Kamu nggak usah ikutan, ya. Suara kamu jelek.”

Dem.

Sejak itu saya nggak berani nyanyi lagi. Sampai2, pas saya masuk kuliah, dan semua MABA yg jumlahnya ribuan itu wajib ikut latihan paduan suara buat pelepasan mahasiswa yg lulus, saya nggak berani ngeluarin suara dan cuma komat-kamit doang. Takut diusir dari balairung di depan MABA berbagai jurusan.

Saya baru berani nyanyi lagi 2-3 tahun ini, setelah tahu bahwa enggak perlu punya suara bagus kalau mau nyanyi. Pelajarannya, watch out your mouth, wahai Kakak Kelas. Bahkan Dr. Tompi yang dulu dikatain suaranya jelek aja sekarang jadi penyanyi kondang.

The end.

9 comments

Tinggalkan Balasan ke Day #30 Writing Challenge: the ups and downs… – katjamatahati Batalkan balasan