Tentang Mencintai dan Berusaha Mencintai

Apakah namanya mencintai kalau perlu diusahakan?

Dulu saya berpikir bahwa berusaha mencintai sesuatu itu pembodohan namanya. Kenapa perlu berusaha? Apakah karena hal tersebut tidak menyenangkan? Tidak lovable? Kalau memang tidak lovable, mengapa harus dipaksakan menyukai? Mengapa tidak melakukan atau menemukan hal lain yang memang disukai?

Atau, kalaupun berada dalam posisi tidak bisa pergi dari hal tersebut, tidak perlu menipu diri dan berusaha menyukai kan? Kita bisa menemukan alasan lain untuk tetap melakukan sesuatu tanpa harus menyukai/mencintainya. Hal ini jadi lebih mudah kalau yang tidak kita sukai itu ada manfaatnya, misalnya minum obat. Siapa juga yang suka. Tapi kita menemukan alasan lain untuk tetap melakukannya, agar sehat.

Tapi toh kita tidak lantas berusaha agar bisa bilang “Aku suka lho minum obat, suka banget, nyenengin deh”. Kecuali kalau kita anak-anak, mungkin minum obat itu akan dibuat menyenangkan, dengan menggunakan selaput gula dan warna-warni cerah, misalnya. Tapi, sebagai orang tua yang bukan anak-anak lagi, saya bisa mengatakan dengan tegas bahwa saya tidak menyukai obat, tapi punya alasan lain untuk meminumnya, bukan karena sekadar suka.

Yang sulit adalah, jika yang tidak kita sukai itu terlalu jauh untuk bisa dilihat manfaatnya. Tapi kita juga tidak bisa melepaskan diri begitu saja.

Misalnya, ada tetangga yang suka membuang sampah di depan  rumah kita, kata-katanya kasar, suka memaki, suka curiga bahwa orang-orang di sekeliling bermaksud jelek pada dirinya. Malas rasanya harus menyukai orang seperti itu. Jangankan suka, beramah-tamah padanya atau sekadar menyapa saja ogah.

Tapi beliau sudah sepuh, tinggal sendirian, usianya delapan puluhan. Jahat sekali rasanya kalau kita mengabaikan.

Paling tidak, sebagai tetangga sebelah rumahnya persis, mungkin kita akan tetap mengunjungi dan membawakan makanan untuknya. Walau mungkin dia mencela makanan kita karena tidak sesuai seleranya.

Tapi, haruskah kita menyukainya? Haruskah berusaha agar suka? Atau cukup berbuat baik seperlunya, menemukan alasan lain seperti: untuk menjaga kesopanan, karena saya warga negara yang baik dan taat norma, atau berharap pahala?

Pada dasarnya saya mungkin akan memilih yang kedua saja. Berusaha menemukan alasan lain tanpa harus menyukai si tetangga. Lagian, saya takut kalau menyukai saya malah akan berempati, memaklumi alasan-alasan di balik sifatnya yang nyebelin, lalu saya juga jadi punya alasan untuk bersikap nyebelin juga. Iya, intinya saya takut ketularan nyebelin kalau harus suka sama dia.

Jadi, begitulah. Saya memilih tidak berusaha menyukainya. Cukuplah saya menemukan alasan lain untuk berbuat baik tanpa harus suka atau cinta.

Cinta bukan satu-satunya alasan untuk berbuat kebaikan, kan?

Sampai beberapa hari yang lalu saya bertemu seseorang. Bisa dibilang dia memiliki latar belakang mirip dengan si tetangga dalam contoh di atas. Mirip dari segi usia, status sosial, lingkungan tempat tumbuh, pergaulan, dan bahkan topik pembicaraan pilihan mereka juga sama! Kalau dilihat dari segi bakal merepotkan atau tidak sebagai tetangga, mungkin beliau juga sama, sama-sama membutuhkan bantuan karena sendirian, sama-sama perlu sering ditengok, dsb.

Tapi, ajaibnya, saya menyukai beliau dan bahkan terpikir terus untuk memberi walaupun beliau tidak meminta. Saya merasa lebih ringan untuk menyapanya, memberikan senyuman, membawakan bawaannya yang berat, meladeninya mengobrol (yang sebetulnya topiknya sama dengan si tetangga).

Kalau dipikir-pikir, memang benar. Cinta bukan satu-satunya alasan untuk melakukan kebaikan, tapi cintalah yang membuat perbedaan bermakna saat kita melakukannya.

Karena saya menyukai beliau, hal yang sama yang saya lakukan ke tetangga dengan berat menjadi terasa ringan ketika dilakukan untuk beliau. Saya pun merasa lega dan mendapat ‘sesuatu’ setelah bertemu beliau, semacam sehabis bertemu guru yang bisa jadi teladan, yang dengan menemui saja sudah menginspirasi.

Jadi, mungkin saya juga perlu berusaha menyukai, ya? Agar apa yang perlu dilakukan tidak terasa berat lagi.

Tapi juga terlalu naif memang kalau hanya mengandalkan suka-tak suka, cinta-tak cinta. Karena pasang surutnya tidak terduga. Bila berusaha menyukai demi meringankan hati, saya khawatir nanti ketika rasa sukanya surut saya jadi berat untuk berbuat lagi. Padahal kewajiban akan tetap ada, dan hidup tidak akan selamanya membiarkan kita mengelak dari hal-hal yang tidak kita suka.

Jadi biarlah saat ini memakai alasan lain selain suka. Kalau nanti menemukan hal baik yang membuat saya jadi suka mungkin hati saya menjadi lebih ringan, tapi kalau pun tidak, saya pun masih bisa tetap menyapa si tetangga sebelah rumah ini.

Sekian

*ditulis dalam rangka menguraikan ide di kepala.

6 comments

  1. Kok menampar tulisannya.
    Pas bagian awal kalimatnya, udah tertampar. “Apakah namanya mencintai kalau perlu diusahakan?”
    Bagaimana kalau terjadi di hubungan antara pria dan wanita? Mungkin penyelesaiannya ga sesimpel minum obat atau tetangga sepuh ya, Kak. :’)
    Huhuhu
    Tulisan dengan analogi yang simpel dan mudah diserap. Terima kasih buat tulisannya, Kak.

    Suka

  2. “Cinta bukan satu-satunya alasan untuk melakukan kebaikan, tapi cintalah yang membuat perbedaan bermakna saat kita melakukannya.”

    aku suka kalimat ini. noted banget. tulisan tansis dalam dan penuh makna banget ih. :’)

    Suka

Tinggalkan komentar