Day #23 Writing Challenge: A letter to someone…

Kepada… kamu, 20 Januari 2022.

Apa kabar? Semoga engkau masih bisa membaca surat ini. Semoga engkau masih menyisihkan sejenak pagimu bersama hening. Mengumpulkan tenaga dari harap dan pinta yang kau panjatkan ke langit sana.

Jam berapa engkau bangun? Adakah  sebelum fajar tiba? Ataukah kau kembali pada kebiasaan belakangan, yang kerap terlelap justru saat fajar datang?

Apa kabar hatimu? Apakah ia telah lapang dengan maaf dan melepaskan? Apa kabar pikirmu, sudahkah kau berhasil merapikan ceceran yang berserakan? Sudahkah kau temukan kerangka untuk membangunnya agar ia tak hanya jejalan yang berantakan?

Sudahkah kau tahu di mana harus menaruh apa? Sudahkah tanganmu bergerak mewujudkan?

Apa kabar petamu, sudah sampai di mana kau berjalan? Sudahkah kau temukan kacamata yang membuat cakrawalamu jernih dan lapang? Atau kau sedang berhenti pada jalan yang bercabang?

Bila engkau telah sampai, pada sebuah titik yang saat ini hanya kau angankan di kejauhan, lupakan terjalnya perjalanan, dan seberapa banyak kau terluka. Semua duri itu bukan untuk kau benci. Semua duri itu yang memberimu energi untuk berlari.

Ingatlah pada setiap tangan yang terulur, dan setiap doa yang terlantun.

Kau takkan kemana-mana hanya dengan kaki dan tangan yang kau punya. Maka, tundukkanlah kepala, dan lapangkan jiwa saat harus melepas semua.

Bila engkau tengah tertatih, semoga kau ingat bahwa kau tidak berjalan dengan kekuatanmu saja. Ingatlah walau hanya setitik daya yang kau punya, ada Yang Kuasa Melipatgandakannya seluas semesta. Sudahkah engkau mendekati-Nya?

Jika engkau dalam kegelapan, ingatlah bahwa kau bukan di situ untuk terlelap. Ada jalan yang harus kau tempuh, ada janji yang harus tertunai, ada titik yang ingin kau raih. Kumohon, bangunlah. Hari tidak selamanya malam. Jangan kau tutup jendelamu saat fajar tiba.

Jika kau tak lagi melihat titik itu di kejauhan, jika hidup memalingkanmu ke arah yang tak pernah ingin kau tuju, tataplah dan tanyakan, akankah arah itu membawamu lebih dekat untuk menunaikan janji? Janji yang telah kau genggam sebelum mengada, juga titipan yang menyertaimu sepanjang perjalanan. Ataukah ia membawamu menjauh, sehingga pundakmu terbebani janji-janji yang tak bisa kau tunaikan?

Jika ia menjauhkanmu, maka sekuat tenaga palingkan lehermu untuk kembali, walau begitu jauh, walau begitu terjal, walau nafasmu hanya tinggal di tenggorokan. Jika ia mendekatkanmu, maka dinginkan kepala, biarkan hatimu lapang, walau duniamu sempit dan sesak.

Jika engkau tak lagi bisa berjalan, jika semua upaya telah terlepas dari raga, dan engkau tak juga sampai pada titik yang kau tuju di dunia, maka semoga semua lukamu menjelma mawar. Tidak di sini, tapi mungkin di sana, di keabadian.

Dari… aku, 20 Januari 2017

7 comments

Tinggalkan komentar